MEMBICARAKAN korupsi yang dilakukan pejabat di negeri ini, seolah-olah tak pernah ada habisnya. Baik pejabat eksekutif maupun legislatif seakan terus 'berlomba' menggerogoti uang rakyat, hingga konsekuensinya harus diseret ke meja hijau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ironis memang, jika kita menyaksikan kehidupan para koruptor yang bergelimang harta yang diperoleh dari uang haram. Mereka memiliki sejumlah rumah dan mobil mewah, sementara di sisi lain masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk membuat jera para koruptor. Misalnya, dengan cara memberikan sanksi hukuman yang berat dan pemiskinan, berupa penyitaan terhadap aset yang mereka miliki.
Sejauh ini, hukuman berat yang mulai diterapkan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang didukung Mahkamah Agung, memang cukup menciutkan nyali para koruptor. Sebut saja Angelina Sondakh dan Luthfi Hasan Ishaaq, yang sempat dibuat kaget dengan hukuman selama 12 tahun dan 18 tahun, ditambah lagi denda dan penyitaan harta yang mereka peroleh dari hasil korupsi.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah hukuman berat itu dapat memberikan efek jera terhadap 'calon' koruptor? Kita tentu berharap hal itu akan memberikan dampak positif, hingga penyelewengan terhadap uang rakyat bisa ditekan.
Namun, memasuki 2014 ini, di mana kita akan menghadapi pesta demokrasi pemilu legislatif --DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten dan DPD RI-- pada 9 April, kecenderungan untuk melakukan korupsi justru meningkat.
Pada masa sekarang hingga menjelang hari pencoblosan, merupakan saat-saat rawan. Tidak dipungkiri, para peserta pemilu mulai mencari biaya politik sebanyak-banyaknya. Ongkos politik yang masih sangat tinggi di Indonesia, memang menjadi salah satu faktor penyebab teori tersebut.
Seperti dikatakan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, kecenderungan korupsi menjelang pemilu justru meningkat. Pasalnya, proses demokratisasi sangat tinggi, hingga menyebabkan biaya politik yang high cost dan intensitas transaksional meningkat. Pada setiap pemilu, para pesertanya perlu dana yang banyak untuk bisa terlibat, sekaligus memenangi proses pesta demokrasi tersebut.
Bisa ditebak, biaya yang tinggi itu tidak mungkin dihasilkan dari penghasilannya semata. Kalau yang punya duit banyak tentu tak masalah. Namun, bagi yang tidak punya modal, dia bisa mulai berkomunikasi ke sana ke mari untuk menggalang dana dengan berbagai cara. Itu sebabnya, ada kecenderungan tren korupsi meningkat menjelang pemilu.
Biasanya, setelah terpilih atau duduk menjadi anggota dewan, mereka tidak fokus bekerja menjadi wakil rakyat. Sebab, pikiran mereka cenderung terpecah menjadi dua, antara pekerjaan dan 'proyek' yang dapat menghasilkan uang. Ini lantaran mereka terbebani 'utang' saat proses pemilu, hingga berupaya mengejar 'setoran'. Di sinilah awal praktik korupsi dimulai.
Dengan demikian, upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air sulit dilakukan. Meskipun ancaman hukumnya cukup berat, namun praktik korupsi tetap terus berjalan.
Mungkin ada baiknya kita belajar kepada Cina, yang telah memberlakukan hukuman mati terhadap para koruptor. Hingga kini, ancaman hukuman tertinggi ini memang belum pernah diterapkan di Tanah Air.
Tanpa diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor di negeri tercinta ini, koruptor diyakini akan terus berkembang semakin subur dan tidak akan pernah berhenti.
Meski sangat menyakitkan, perlu adanya terobosan dan ketegasan dari aparat penegak hukum kita. Masyarakat juga muak terhadap para koruptor, yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan perekonomian negara tersebut. (*)
Anda sedang membaca artikel tentang
Cenderung Meningkat
Dengan url
http://banjarberita.blogspot.com/2013/12/cenderung-meningkat.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Cenderung Meningkat
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar