Oleh: M Muhransyah SPd
Guru SDN Landasan Ulin Barat 1, Mahasiswa S2 Unesa
Entah ini kabar gembira yang harus dirayakan dengan riang gembira, atau justru kabar duka yang diratapi dengan bermuram durja. Ujian Nasional (UN) untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) sederajat sudah resmi bermetamorfosa menjadi "hanya" Ujian Sekolah (US).
Banyak yang menilai ini merupakan hal yang harusnya dari dulu sudah dilakukan (meniadakan UN), tapi tidak sedikit yang berpendapat sebaliknya dan menebut sebagai langkah mundur dalam pendidikan dasar.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan, Profesor Musliar Kasim mengatakan, ketentuan tentang penyelenggaraan UN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam pasal 67 ayat satu disebutkan, pemerintah menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan UN untuk pendidikan dasar dan menengah.
Kemudian pada ayat dua ditentukan, UN untuk satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar sebagaimana diatur pada ayat satu dikecualikan untuk jenjang SD/MI/SDLB dan bentuk lain yang sederajat. Karena, SD masih kerangka wajib belajar sembilan tahun.
Dulu di SD ada ujian nasional (UN) dan ujian sekolah (US). Tahun depan hanya ada satu ujian yang dilaksanakan serentak yang diberi nama ujian sekolah/madrasah. Kalau kita lihat balik beberapa tahun ke belakang, pada 2012 pemerintah menerapkan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) di SD.
Lalu pada 2013 ini diganti menjadi ujian nasional SD (UN SD). Pada 2014 ini berubah lagi menjadi ujian sekolah (US SD), di mana Kemendikbud melalui BSNP menitipkan 25 persen butir soal saja pada ujian tersebut. Sisanya, 75 persen adalah dari daerah. Ujian akhir SD dipasrahkan ke pemda.
Konon jika tidak ada soal titipan tersebut, Kemendikbud khawatir pemetaan kompetensi siswa dan unit sekolah jenjang SD tidak bisa dilakukan.
Sebagai pendidik yang berkecimpung langsung di sekolah dasar, sebenarnya ada ataupun tidak ada UN di SD, tak terlalu membawa pengaruh yang signifikan.
Pelaksanaan UN di SD hanya terkesan seremonial belaka, seakan setelah melalui perjuangan hidup mati lalu berhasil melaluinya. Mendapatkan nilai 90 atau malah 100 seolah merupakan jaminan anak tersebut akan berhasil di kemudian hari.
Pendidikan di sekolah dasar hakikatnya merupakan fase membangun karakter, sikap, perilaku dan penanaman nilai terhadap baik buruk, benar dan keliru.
Oleh karena itu ketika tolok ukurnya adalah evaluasi kognitif dalam bentuk angka, itu tidak relevan dan sejalan dengan esensi pendidikan tingkat dasar itu sendiri. Esensi ini yang oleh pendidik sekalipun, sering terabaikan.
Sekolah diciptakan bagaikan medan tempur, di mana anak berperang untuk memperebutkan angka-angka yang tinggi. Anak peraih nilai tertinggilah yang akan menjadi juaranya. Angka-angka yang tinggi merupakan bagian penting paling akhir dari proses pendidikan, terutama dalam ruang lingkup pendidikan dasar.
Sebagai pendidik di sekolah dasar, kita harus meninggalkan pemikiran "primitif" seperti itu. Yang harus dikedepankan adalah proses pembentukan persepsi diri secara utuh, yang diolah dari nilai dan karakter positif melalui pembiasaan dan keteladanan yang konsisten. Oleh karena itu, ada pendapat yang mengatakan, yang menjadi pendidik (guru) di sekolah dasar haruslah sosok yang lulus uji integritas, kualitas dan moralitas.
Selalu Naik Kelas
Sebuah kebijakan prematur dari Kemdikbud yang celakanya sering kali dipahami pendidik secara dangkal. Pengamat Pendidikan Profesor Arief Rahman menyatakan tidak mempermasalahkan kebijakan Kemdikbud yang menerapkan sistem penilaian baru bagi peserta didik sekolah dasar.
Pendidikan pada saat SD seharusnya tidak dibuat rentangan antara naik kelas dan tidak naik kelas, karena sifat dalam pengajaran kepada peserta didik SD masih bersifat integral dan holistik. Dalam pelaksanaannya tentu saja ditemukan anak yang memiliki nilai di atas rata-rata dan di bawah rata-rata. Untuk itu para guru harus melakukan pengayaan, pendalaman dan perbaikan bagi para murid, yang dilakukan pada awal-awal semester supaya nanti tidak ada yang tertinggal.
Naik kelas "bapaksaan" akan terjadi dan dilakukan oleh pendidik yang tidak siap menindaklanjuti kebijakan ini. "Ada yang tinggal kelas pun, tetap saja anak santai, apalagi harus naik kelas semua" kata sebagian pendidik.
"Kasihan nanti anak yang berprestasi dan tidak, akan sama-sama saja naik kelas," timpal sebagian pendidik yang lain. Kebijakan ini sebenarnya memang baik sebagai imbas dari penilaian secara kualitatif. Tidak ada ukuran untuk siswa tinggal kelas, menghilangkan rasa rendah diri pada anak sejak dini. Kemudian juga sebagai dorongan kepada guru SD agar lebih kreatif, sehingga siswa tidak ada yang tinggal kelas.
Sebenarnya sebelum ada kebijakan ini, guru juga sudah menetapkan batasan anak tinggal kelas yang hanya satu kali. Jadi ketika tahun ini siswa tinggal kelas, maka tahun depan harus dinaikkan. Tapi, itu saja dirasakan guru berat ketika menghadapi anak yang benar-benar "kurang mampu", apalagi yang tanpa tinggal kelas.
Anak SD memiliki kemampuan yang berbeda dan tidak merata. Ada anak yang sebenarnya pintar, namun daya tangkapnya kurang sehingga dalam belajar lebih membutuhkan waktu lama.
Memang idealnya pemerintah percaya sepenuhnya mengevaluasi proses pembelajaran kepada pendidik di lapangan, jangan segala hal mau diintervensi, sampai kepada naik dan tinggal kelas.
Tapi, sebagai pendidik, mari kita lihat itu sebagai sebuah tantangan untuk mampu mencerdaskan seluruh anak didik tanpa kecuali. Karena, andai itu dapat terlaksana, sungguh besar investasi kita untuk "sangu" di akhirat nanti. (*)
Anda sedang membaca artikel tentang
Selamat Tinggal UN SD
Dengan url
http://banjarberita.blogspot.com/2013/12/selamat-tinggal-un-sd.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Selamat Tinggal UN SD
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar