BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 memberlakukan pajak sebesar satu persen bagi sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Ketentuan itu berlaku mulai Senin (1/6) kemarin. Para pelaku UKM di Kalsel pun resah.
Berdasar PP itu, setiap pelaku usaha atau wajib pajak yang omset usahnya selama setahun di bawah Rp 4,8 miliar wajib membayar pajak penghasilan (PPh) yang dibayar tiap bulan.
Namun, bagi orang yang melakukan kegiatan perdagangan dan jasa yang sarana prasarananya bersifat bongkar pasang, tidak dikenai aturan itu.
Belum tersosialisasinya aturan baru itu membuat pelaku UKM di Kalsel, bingung dan resah. Mereka juga menilai ketentuan itu makin menambah beban. " Pengeluaran sudah banyak, apalagi terkait pajak itu saya belum tahu. Sosialisasi saja tidak ada, bikin bingung kami. Aturannya belum jelas," ucap pemilik warung mi ayam di Banjarmasin, Trisno, Selasa (2/7).
Sudah enam tahun usaha tersebut dijalankan. Mulai dari produksi hingga penjualan, dilakukan secara mandiri. Kini Trisno memiliki empat cabang di Banjarmasin, dengan keuntungan per hari yang tidak menentu. Rata-rata Rp 500 ribu per hari satu warung.
"Untuk biaya produksi rutin, rata-rata Rp 1.500.000 per hari untuk empat warung. Belum lagi sewa tempat yang mencapai belasan juta rupiah per tahun," kata dia.
Hal serupa disampaikan perajin kayu olahan di kawasan Jalan Sei Mesa. "Saya belum tahu jelas. Bikin bingung dan resah saja. Usaha kecil kami ini tidak menentu penghasilannya karena sifatnya borongan. Seminggu bisa tidak ada pemasukan bahkan sebulan cuma bisa dapat Rp 2 jutaan saja," ujar salah seorang pemilik, Ian.
Pelaku usaha lain yang tiap hari mampu meraup keuntungan belasan hingga puluhan juta rupiah sehari, Barsyiah juga mempertanyakan pertimbangan pajak tersebut. Pemilik warung nasi itik di Gambut, Banjar itu mengaku mendapat sosialisasi dari petugas pajak.
"Kalau lagi ramai, setengah hari saja bisa mendapat Rp 10 juta. Kalau 24 jam sekitar Rp 20 jutaan. Tetapi juga bayar pekerja Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu tiap harinya. Selama ini kami bayar seperti pajak itu ke kecamatan. Tapi kalau pajak UKM, kami belum tahu. Bikin binggung saja," ucap kasir warung milik Barsyiah, Laila.
Sementara Kasi Humas Ditjen Pajak Kalselteng melalui rilisnya menyatakan kreteria UKM yang terkena pajak itu diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2008. Kini, UKM yang memenuhi kreteria itu wajib membayar PPh sebesar satu persen. Bagi yang menunggak atau tidak membayar akan dikenai sanksi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalsel, H Tajuddin Noormengatakan harus ada sosialisasi yang menyeluruh.
"UKM itu kan banyak, ada yang sudah berkembang, baru akan berkembang dan baru merintis. Harus ada sosialisasi agar jelas kreteria pelaku UKM yang terkena aturan itu," ucap Tajuddin.
Sementara Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikondo), H MAZ Pandjaitan menilai pemberlakuan pajak itu belum waktunya. Pasalnya, saat ini daya beli masyarakat masih lemah sehingga omset pelaku UKM turun.
"Harga BBM naik, penjualan hasil produksi UKM belum sepenuhnya mampu menembus pasar dan pembinaan terhadap UKM juga belum optimal. Kami ini mau dibina atau dibinasakan? Belum apa-apa sudah dikenaik pajak," ujar dia.
Katanya, pajak itu bisa membuat UKM lebih 'bankable'? "Bankable yang bagaimana? Bankable itu berhubungan dengan jaminan, pajak itu bukan jaminan," ucap dia.
Sebaliknya, mantan Wapres Jusuf Kalla, yang juga pengusaha, mendukung pengenaan pajak tersebut. "Pajak kan kewajiban warga negara. Selama memenuhi syarat pengenaan pajak, meski UKM tidak masalah. Pajak kan dari perolehan keuntungan," ujar dia.
Kalla juga mengatakan dampak kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh. "Harga solar kan sekitar 20 persen kenaikannya, biaya transportasi juga naik 20 persen. Efeknya cuma empat persen ke barang, jadi ya tidak berat," katanya.
Dukungan disuarakan pula oleh pengamat ekonomi, Aviliani. Dia menilai dengan pajak itu, UKM akan menuju taraf usaha formal. "Kalau kena pajak, dia akan berubah menjadi formal. Selama ini kita melihat UKM malas untuk menjadi formal. Lebih suka informal," ucap dia.
Dengan menjadi usaha formal, dapat memudahkan mengurus pembiayaan ke perbankan atau bankable. Selain itu, UKM juga bisa lebih mampu melakukan efisiensi. Misalnya, penghematan dalam pengeluaran transportasi yang tidak penting dan pengeluaran lainnya.
"Kalau tidak pernah kena pajak, orang kan tidak tahu harus efisiensi di mana. Terlalu bebas untuk terjadinya pemborosan. Misalnya, transportasi untuk mengangkat barang, yang harusnya tidak harus pakai biaya. UKM itu cenderung tidak pernah mengkaji bisnis proses," kata Aviliani. (kur/ncl/kps/vie/tribunnews/aco)
Anda sedang membaca artikel tentang
Pedagang Nasi Itik Gambut Resah
Dengan url
http://banjarberita.blogspot.com/2013/07/pedagang-nasi-itik-gambut-resah.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Pedagang Nasi Itik Gambut Resah
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Pedagang Nasi Itik Gambut Resah
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar