Ustadz Harus Gaul?

Written By Unknown on Senin, 29 April 2013 | 12.03

jendelamujiburrahman.jpg

Mujiburrahman()

Oleh: Mujiburrahman

JUMAT, 26 April 2013, pukul satu dini hari. Sepeda motor besar merek Kawasaki berkekuatan 650cc melesat cepat.

Ketika melewati bundaran Pondok Indah, Jakarta, sepeda motor itu terseok dan menabrak pohon palem.

Pengemudinya terpental 3-4 meter, helmnya terlepas, wajah dan kepalanya terhempas. Ia segera dibawa ke rumah sakit. Ternyata, Tuhan sudah memanggilnya.

Begitulah kurang lebih kematian mendadak ustadz Jeffry Al-Buchory, yang lazim dipanggil singkat Uje. Ia wafat saat kariernya menjulang, dalam usia yang relatif muda: 40 tahun.

Karena itu wajar jika orang-orang dekatnya dan para penggemarnya merasa sangat kehilangan. Rasa kehilangan itu makin menggunung berkat liputan media yang intensif dan panjang mengenai peristiwa ini.

Sebagai pendakwah atau populer disebut ustadz, Uje adalah tokoh agama yang mengalami pertobatan setelah bergelimang kemaksiatan.

Kala kecil dan remaja, ia belajar di madrasah dan pesantren. Ia dikenal sebagai santri yang pandai melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Suaranya yang indah dan bacaannya  fasih, membuatnya sering menjadi juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ).

Tetapi kehidupan gemerlap Jakarta membuatnya tergoda mengikuti gaya hidup orang kota yang bebas lepas. Pergaulannya pun melintasi batas-batas lingkungan kaum santri.

Ia memasuki dunia model, teater, sinetron hingga koreografi. Bersama kawan-kawannya, ia sering mabuk-mabukan, bahkan sampai kecanduan narkoba. Puncaknya, ia mengalami gangguan mental, paranoid.

Perubahan mulai terjadi saat ia melaksanakan umrah bersama ibunya. Ia ingin berubah, menyesali segala perbuatan dosanya. Tetapi semua itu tidak semudah membalik tangan.

Masyarakat bahkan teman-temannya tidak serta merta percaya bahwa ia sudah berubah. Proses yang sulit itu ternyata bisa ia lewati. Ia akhirnya menjadi seorang dai, orang yang mengajak manusia ke jalan Tuhan.

Tak dapat disangkal, Uje terkenal berkat media, khususnya televisi. Pengalamannya di dunia pesta dan dansa, sungguhpun ia sesali, memberinya bekal untuk dapat memasuki dunia anak muda.

Kegandrungan kawula muda pada lagu, digantinya dengan nyanyian ruhani dan lantunan ayat-ayat suci. Ia pun dijuluki ustadz gaul. Akibatnya, seperti para artis, ia sering diliput infotainment.

Jalaluddin Rakhmat (1998: 339-342) atau Kang Jalal, pernah menulis kolom berjudul Mubaligh Pop di majalah Ummat. Ia berteori, dulu di Indonesia, ulama adalah seorang sufi atau faqih. Sufi adalah ahli jalan ruhani, dan faqih adalah ahli hukum agama. Faqih memberikan bimbingan praktis tata cara hidup beragama, sedangkansufi membimbing hati manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Setelah itu, lanjut Kang Jalal, muncul kelompok modernis, yang menyerang otoritas ulama sufi dan faqih tadi. Mereka mengatakan, taklid atau mengikuti pendapat ulama tidak dianjurkan.

Orang harus berijtihad, mencari sendiri kebenaran agama, langsung  dari Alquran dan Hadis. Dikatakan pula, setiap orang harus menjadi mubalig, penyampai pesan agama, walau hanya satu ayat.

Tetapi tawaran kaum modernis itu lama-lama tidak memuaskan. Benturan nilai-nilai moral yang makin dahsyat di era global ini, membuat masyarakat kembali rindu pada otoritas ulama tradisional sebagai pegangan.

Namun sayang, demikian Kang Jalal, yang muncul kemudian bukan ulama sufi atau faqih, melainkan mubaligh pop alias ustadz gaul. Medialah yang menciptakannya.

Mubaligh pop, kata Kang Jajal, tidak tampil apa adanya, tetapi dalam citra-citra yang diciptakan media. Dakwahnya diatur oleh efek suara, tata letak dan visual media.

Kepandaiannya menghibur dan berakting lebih diutamakan dibanding kedalaman ilmunya. Hubungannya dengan jemaah, seperti hubungan artis dengan fansnya. Ia dibayar mahal. Pakaian, kendaraan dan rumahnya cenderung mewah.

Suatu hari di sebuah pesantren, saya menyitir teori Kang Jalal di atas. Seorang ustadz muda menanggapi. "Ustadz memang harus gaul. Gaul, singkatan dari gaya ulama," katanya.

Kalau itu maksudnya, saya tentu setuju. Berdakwah melalui media dan tampil pop agar bisa dekat dengan anak muda, tidaklah tercela, selama sang ustadz tetap bergaya ulama: sopan, sederhana, rendah hati, jujur dan ikhlas.

Tapi, mungkinkah itu? Barangkali Uje adalah sosok yang demikian. (*)


Anda sedang membaca artikel tentang

Ustadz Harus Gaul?

Dengan url

http://banjarberita.blogspot.com/2013/04/ustadz-harus-gaul.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Ustadz Harus Gaul?

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Ustadz Harus Gaul?

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger